hukumnatalHukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Kristen kerap menimbulkan polemik di masyarakat. Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah membahasnya secara khusus.

Para ulama berbeda pendapat terkait persoalan ini disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadis. Ada ulama yang membolehkan pengucapan selamat hari natal karena dasar hukum mengikuti prosesi natal bagi mereka memang boleh. Ada pula ulama yang lebih memilih berhati-hati karena mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu.

“Mengapa muncul perbedaan pandangan hukum? Ada beberapa sebab. Bisa dilihat dari penempatan persoalan ini adalah apakah mengucapkan selamat hari natal itu bagian dari persoalan keseharian belaka atau muamalah, atau apakah berkaitan dengan akidah?”

Para ulama yang mengharamkan pengucapan selamat hari natal karena berdasarkan penafsiran QS. Maryam ayat 23-26. Dalam ayat tersebut, Jibril memerintahkan Maryam yang sedang melahirkan Isa al Masih untuk meraih pangkal pohon kurma itu kearahnya lalu mengambil buahnya yang telah matang untuk dimakan. Kehadiran buah kurma memberikan isyarat bahwa kelahiran Isa al Masih bukan di musim dingin dan dengan demikian tanggal 25 Desember bukan kelahiran Putra Maryam tersebut.

Sementara para ulama yang membolehkan pengucapan selamat hari natal berlandaskan pada QS. Al Mumtahanah ayat 8. Dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi umat Islam. Karenanya, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Pendapat Muhammadiyah

Dalam Tanya Jawab Agama jilid II, Majelis Tarjih mengeluarkan fatwa yang sejalan dengan fatwa Majels Ulama Indonesia yaitu mengikuti perayaan Natal haram hukumnya. Sedang mengucapkan “Selamat Hari Natal”, adalah sesuatu yang dianjurkan untuk tidak dilakukan. Sementara dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Suara Muhammadiyah no 5 tahun 2020 disebutkan kebolehan membantu atasan di kantor dalam perayaan natal seperti penyediaan kursi, ornament, dan lain-lain. Karenanya, Wawan menyimpulkan bahwa hukum pengucapan hari natal termasuk aspek muamalah yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang menyertai kita.

Berikutfatwa Majelis Ulama Indonesia tentang perayaan Natal bersama, dengan beberapa pertimbangan.

  1. Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk kerja sama dan bergaul dengan ummat agama-agama lain, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan. Hal ini didasarkan pada surat Al Hujurat ayat 13, surat Lukman ayat 15, surat Al Mumtahanah ayat 8.
  2. Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan agama dengan aqidah dan peribadatan agama lain. Hal ini didasarkan pada surat Al Kafirun ayat 1-6, surat Al Baqarah ayat 42.
  3. Bahwa ummat Islam harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Al Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada Nabi dan Rasul yang lain. Hal ini didasarkan pada surat Maryam ayat 30-32, surat Al Maidah 75 dan surat Al Baqarah ayat 285.
  4. Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Al Masih itu anaknya, maka orang itu (menurut Al Quran) kafir dan musyrik. Hal ini didasarkan pada surat Al Maidah ayat 72 dan 73, senta surat At Taubah ayat 30.
  5. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT. itu hanya SATU, berdasarkan surat Al Ikhlash ayat 1-4.
  6. Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan. Hal ini didasarkan ada Hadis riwayat Muslim tentang yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas, dan di antara keduanya adalah masalah yang syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Dasar lain ialah qaidah fiqhiyyah: “Menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan”.

Atas dasar pertimbangan di atas, maka Majelis Ulama Indonesia menfatwakan:

  1. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan mengormati Nabi Isa as., akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
  2. Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
  3. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
  4. Dari fatwa itu khususnya point “b”, mengikuti perayaan Natal haram hukumnya. Sedang mengucapkan “Selamat Hari Natal”, dapat digolongkan pada fatwa point “c”, sesuatu yang dianjurkan untuk tidak dilakukan.

(Fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, dalam Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Tanya Jawab Agama Jilid 2, Suara Muhammadiyah, Cet. VI 2003, halaman 209-210)

Stres pada Hewan Kurban Pengaruhi Kualitas DagingSatu Sapi Untuk Lebih dari Tujuh Orang, Kurban atau Sedekah Biasa?

Pertanyaan: 

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Alhamdulillah, di Cabang kami setiap tahun selalu mengadakan penyembelihan hewan kurban. Ada pengelompokan satu sapi untuk maksimal tujuh orang, dari kelompok A sampai kelompok E (lima kelompok) dengan nominal yang berbeda tiap kelompoknya. Di samping itu ada juga kelompok kolektif tak terbatas (bisa lebih dari tujuh orang untuk satu sapinya). Hal ini dilakukan untuk melatih warga berkurban dan memfasilitasi mereka supaya bisa berkurban tiap tahunnya.

Kami juga melatih peserta didik di AUM dengan iuran untuk membeli hewan kurban (satu sapi lebih dari tujuh orang bahkan ratusan orang). Dalil yang dipakai adalah Rasulullah saw pernah berkurban dua ekor kambing, satu untuk beliau dan keluarga, sedang satunya untuk umat. Salah satu manfaat dengan adanya kolektif tak terbatas ini adalah daging kurban yang dibagikan lebih banyak.

Tapi kemudian ada warga yang mempertanyakan cara ini, takutnya ini tidak diperbolehkan karena bagian dari ibadah dan harus ada tuntunannya. Sedangkan tuntunan yang umum adalah satu unta untuk sembilan orang, satu sapi untuk tujuh orang dan satu kambing untuk satu orang. Pertanyaannya, bolehkah cara itu dilakukan (satu sapi lebih dari tujuh orang), termasuk berkurban atau hanya sedekah biasa? Mohon pencerahannya supaya hati kami bisa lebih mantap.

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Sunoto, di Sumatera Selatan (Disidangkan pada Jumat, 21 Rabiulakhir 1443 H/26 November 2022 M)

Jawaban: 

Wa ‘alaikumus salam wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Masalah serupa sebenarnya pernah ditanyakan dan telah dibahas dalam website Fatwa Tarjih yang diposting pada 28 Januari 2020 dan Majalah Suara Muhammadiyah No. 21 tahun 2006. Namun demikian, tidak menjadi masalah apabila kami harus menjelaskannya kembali.

Kurban secara istilah berarti mendekatkan diri kepada Allah swt. Adapun tuntunan kurban tercantum dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya QS. al-Kautsar: 2, QS. al-Hajj: 34-35 dan ayat 36 serta QS. ash-Shaffat: 102-107. Terlebih lagi dalam beberapa sabda Rasulullah saw yang masyhur ditemukan dalam kitab Shahih al-Bukhari, Muslim dan lain-lain. Hukum kurban menurut mayoritas ulama adalah sunnah muakkadah berdasarkan hadis Nabi saw,

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَار [رواه مسلم].

Dari Ummu Salamah (diriwayatkan) bahwa Nabi saw bersabda: "Jika kalian telah melihat hilal sepuluh Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, hendaknya ia tidak mencukur rambut dan tidak memotong kuku terlebih dahulu [HR. Muslim Nomor 3655].

Seringkali didapati dalam kitab-kitab fikih bahwa satu ekor kambing untuk satu orang, satu ekor lembu untuk maksimal tujuh orang dan satu ekor unta untuk maksimal sepuluh orang atau dikenal dengan istilah kurban kolektif, dengan syarat tetap melihat kondisi hewan yang dikurbankan. Dasarnya adalah hadis sebagai berikut,

عَنْ جَابِرٍ قَالَ ذَبَحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَائِشَةَ بَقَرَةً يَوْمَ النَّحَرِ [رواه مسلم]. 

Dari Jabir (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah saw menyembelih hewan kurban untuk Aisyah seekor lembu pada hari nahar [H.R. Muslim No. 356].

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَحَضَرَ اْلأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الْبَعِيْرِ عَشَرَةً [رواه الترمذي].

Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan), ia berkata: Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan, kemudian datanglah hari raya Adha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang [H.R. at-Tirmidzi No. 1501].

Mengenai dalil yang saudara maksudkan sebagai landasan kurban kolektif di Cabang saudara, bahwa Rasulullah saw pernah berkurban dengan dua ekor kambing untuk beliau, keluarga dan umatnya adalah sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ [رواه مسلم].

Dari 'Aisyah, (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw pernah menyuruh untuk diambilkan dua ekor domba bertanduk yang di kakinya ada warna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut diserahkan kepada beliau untuk dikurbankan, lalu beliau bersabda kepada 'Aisyah: Wahai 'Aisyah, bawalah pisau kemari. Kemudian beliau bersabda: Asahlah pisau ini dengan batu. Lantas 'Aisyah melakukan apa yang diperintahkan beliau, setelah diasah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya lalu beliau menyembelihnya. Kemudian beliau mengucapkan: Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad. Kemudian beliau berkurban dengannya [H.R. Muslim No. 1967].

Dalam riwayat lain disebutkan,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ: بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى [رواه أبو داود].

Dari Jabir bin Abdullah (diriwayatkan) ia berkata: Aku hadir bersama Rasulullah saw dalam salat Idul Adha di musala (lapangan), maka setelah beliau usai khutbah, beliau turun dari mimbar dan dibawakan di hadapan beliau seekor domba, lalu Rasulullah saw menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri seraya berucap: Bismillah, Allahu Akbar, ini dari Muhammad dan dari umatku yang tidak berkurban [H.R. Abu Dawud No. 2413].

Kedua hadis di atas menjelaskan tentang fi’liyah Rasulullah saw perihal kurban beliau dengan mengatasnamakan keluarga dan umatnya. Akan tetapi, terdapat hadis lain yang secara gamblang menjelaskan bahwa berkurban untuk beberapa orang telah menjadi kebiasaan pada zaman Rasulullah saw, yaitu hadis berikut ini, 

عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ يَقُوْلُ: سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى [رواه الترمذي].

Dari Atha’ bin Yasar mengatakan: Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari perihal kurban di zaman Rasulullah saw, maka jawabnya: Adalah seseorang berkurban dengan seekor domba atas nama dirinya dan seluruh anggota keluarganya. Mereka makan bersama juga memberikannya kepada orang lain. Begitulah hingga manusia gembira dan menjadilah (sunah) seperti yang anda lihat sekarang ini [H.R. at-Tirmidzi No. 1141].

Pengertian keluarga dan umat secara kontekstual pada masa Rasulullah saw dalam redaksi hadis Aisyah di atas perlu ditelaah lebih dalam lagi. Lafal (آلُ) dalam kamus Lisan al-‘Arab menurut Abu Abbas Ahmad bin Yahya disebutkan bahwa terjadi perselisihan dalam memaknai lafal (آلُ النبي). Sebagian kelompok mengatakan keluarga Nabi adalah seluruh pengikutnya, baik kerabat maupun selain kerabat. Sementara sebagian kelompok lainnya menyatakan lafal (آلُ) dan (أَهْلٌ) adalah semakna, yakni (أَهْل البَيْتِ) atau istilah lain keluarga kecil di dalam rumah.

Namun demikian, ditemukan pula dalam kamus Lisan al-‘Arab, lafal (آل مُحَمَّد) dengan dua makna berbeda. Pertama, bermakna kerabat dan para istri Rasulullah saw. Kedua, adalah keluarga dalam makna menganut agama Rasulullah saw yakni Islam. Dengan demikian, kami mengambil kesimpulan bahwa (آل مُحَمَّد) secara kontekstual pada masa Rasulullah saw dalam redaksi hadis ‘Aisyah adalah Rasulullah saw, para istri dan anak-anaknya. Hal ini dikuatkan pula dengan lafal (وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ) dalam hadis riwayat at-Tirmidzi Nomor 1141 yang maknanya keluarga di rumah. 

Adapun umat yang dimaksud dalam hadis ‘Aisyah dan hadis Jabir ditemukan beberapa penjelasan dalam kamus Lisan al-Arab. Abu Ishaq mengatakan makna umat sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah (2): 213 yakni sekumpulan manusia yang hidup antara Nabi Adam a.s. dan Nabi Nuh a.s. yang awalnya dalam keadaan kafir, kemudian diutuslah Nabi Muhammad saw sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira. Ada pula yang mengatakan bahwa umat adalah sekelompok manusia mukmin bersama Nabi Nuh a.s. di atas kapal, lalu mereka terpecah-belah setelah adanya kekafiran hingga Allah swt mengutus Nabi-Nya.

Sedang pendapat lain mengatakan bahwa seluruh manusia berada dalam keadaan kafir, lalu Allah swt mengutus Nabi Ibrahim a.s. dan nabi-nabi setelahnya. Abu Manshur mengatakan bahwa umat adalah sekelompok manusia dalam satu agama. Adapun lafal (أُمَّتِى) dalam H.R. Abu Dawud Nomor 2413 di atas merupakan tarkib idafi, yang dalam kaidah usul fikih tergolong kepada lafal ‘am. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa (أُمَّة مُحَمَّدٍ) adalah kaum yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pengikutnya, yakni  umat sejak zaman Rasulullah saw hingga saat ini yang belum mampu berkurban.

Sehubungan dengan pertanyaan saudara, maka kurban sebagai ibadah yang telah disyariatkan memiliki batasan dan aturan yang telah ditetapkan syariat. Aturan kurban kolektif adalah satu ekor kambing untuk satu orang, satu ekor sapi dan kerbau untuk maksimal tujuh orang serta satu ekor unta untuk maksimal sepuluh orang dengan melihat kondisi hewan masing-masing. Apabila sahibul kurban mampu berkurban satu ekor sapi untuk dirinya atau sahibul kurban mampu berkurban dua ekor kambing atas nama dirinya, maka tidaklah mengapa. Sementara praktik kurban yang biasa dilakukan di Cabang saudara termasuk Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang terdiri dari beberapa orang bahkan ratusan orang tanpa ikatan keluarga dengan sistem urunan atau iuran perlu ditegaskan lagi akadnya.

Jika ingin menjadi kurban, maka harus definitif siapakah yang menjadi sahibul kurban, sehingga ke depannya harus bergilir semua anggota urunan mendapat haknya berkurban. Situasi tersebut bisa berubah apabila semua anggota urunan menghibahkan urunannya kepada salah satu orang yang menjadi sahibul kurban. Namun jika tidak mau menempuh dua cara di atas, urunan tersebut tidak diakadkan menjadi hewan kurban. Oleh karena itu dapat disimpulkan praktik kurban tersebut merupakan bentuk latihan kurban sebagaimana yang saudara sebutkan dan tergolong sedekah biasa. 

Adapun mengenai satu ekor sapi untuk lebih dari tujuh orang, dalam sidang fatwa memang ada pendapat yang diajukan bahwa boleh saja satu ekor sapi untuk kurban kolektif lebih dari tujuh orang, dengan syarat ukuran dan harga sapi tersebut memang di atas rata-rata sapi biasa, sehingga. Hal ini merujuk pada hadis tentang unta jenis jazur yang bisa untuk kolekif 10 orang, bukan unta jenis ba’ir, karena jazur berukuran lebih besar dari pada ba’ir. Dalam hal ini, makna jazur diperluas menjadi hewan kurban yang berukuran besar, termasuk sapi yang ukuran dan harganya di atas rata-rata.

Sebagai contoh, misalnya iuran kurban yang ditetapkan adalah Rp3.000.000,-, maka akan mendapatkan sapi dengan ukuran/harga Rp21.000.000,- untuk kurban kolektif tujuh orang. Sementara untuk membeli sapi dengan ukuran/harga yang lebih besar, misal satu ekor sapi yang lebih besar dengan harga Rp60.000.000,-, kurban kolektif dapat dilakukan oleh 10 orang dengan iuran yang lebih besar pula, yaitu Rp.6.000.000,-. Hal dilakukan antara lain untuk memperoleh kuantitas dan kualitas daging sapi yang lebih baik. Namun demikian, pendapat ini belum mencapai kata mufakat pada sidang Tim Fatwa Agama, sehingga akan dibahas lebih lanjut pada forum yang lain.

Sebagai solusi sementara, apabila tetap ingin melaksanakan kurban sapi secara kolektif tetapi terkumpul lebih dari tujuh orang yang akan iuran, maka kelebihan dari tujuh orang tersebut dapat bergabung dengan tempat atau kelompok lain (baik ikut jamaah lain di suatu masjid atau bergabung dengan tetangga sekitar). Solusi kedua saudara dapat berkurban dengan satu ekor kambing saja.

Berikutnya mengenai doa Nabi Muhammad saw dalam  hadis Aisyah di atas yakni lafal (بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِه) tidak berarti satu ekor kambing diperuntukkan bagi seluruh umat, melainkan isyarat bahwa kurban tersebut atas nama Nabi saw, namun pahalanya diharapkan untuk seluruh umatnya. Hal ini wajar sebab Nabi Muhammad saw adalah Nabi bagi seluruh umat yang mengharapkan kebaikan pada umatnya. Ringkasnya bahwa doa tersebut tidak dikaitkan sama sekali dengan jumlah hewan yang dikurbankan Rasulullah saw saat ini sebagaimana tergambar dalam hadis ‘Aisyah di atas. 

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 10 Tahun 2020

Artikel ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul: Satu Sapi Untuk Lebih dari Tujuh Orang, Kurban atau Sedekah Biasa?, https://www.suaramuhammadiyah.id/read/satu-sapi-untuk-lebih-dari-tujuh-orang-kurban-atau-sedekah-biasa

musik 1Polemik seputar hukum musik masih menjadi sorotan hangat dalam diskusi umat Islam hari-hari ini. Perspektif yang beragam mengenai legalitas musik terus memunculkan pertentangan. Di satu sisi, ada yang memandang bahwa musik secara mutlak haram; sementara di sisi lainnya, ada yang meyakini bahwa musik tidak memiliki batasan hukum yang tegas.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sendiri telah mengeluarkan fatwa mengenai hukum musik. Dalam menanggapi keberagaman pendapat tentang musik, berdasakan buku Tanya Jawab Agama jilid V (2013) Majelis Tarjih membuat tiga klasifikasi:

Pertama, jika musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan. Kedua, jika musik hanya bersifat sebagai hiburan atau permainan semata tanpa dampak yang signifikan, hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, perlu diingat bahwa jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram. Ketiga, jika musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemaksiatan, maka hukumnya jelas haram.

Pandangan Majelis Tarjih ini sejalan dengan Imam Al Ghazali. Menurutnya, musik dianggap haram apabila membangkitkan atribut yang tercela dalam diri manusia. Namun, Imam Al Ghazali juga memberikan perspektif yang lebih nuansa terkait hukum ini. Baginya, musik hanya menjadi makruh apabila seseorang terlalu terbuai olehnya, sehingga melupakan kewajiban-kewajiban yang lain.

Lebih lanjut, jika musik hanya dinikmati sebagai bentuk kesenangan tanpa adanya efek negatif yang signifikan, maka statusnya menjadi mubah atau diperbolehkan. Imam Al Ghazali juga menyatakan bahwa musik dapat dianjurkan apabila mampu meningkatkan rasa cinta kepada Allah dan membangkitkan atribut yang terpuji dalam diri manusia.

Membedah Metodologi Hukum

Dari penjelasan yang telah disampaikan, terbuka ruang untuk membongkar metode istinbath hukum yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan juga Imam Al Ghazali. Untuk melengkapi pemahaman akan hal ini, kita akan menggunakan kerangka teoritik yang dikemukakan oleh pakar hukum Islam sekaligus Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar.

Dalam buku yang berjudul Fikih Kebhinekaan, Syamsul Anwar menguraikan tentang tipologi ‘illat, atau yang dikenal dalam hukum Islam sebagai metode kausasi dan ratio legis. Dua macam kausa ini menjadi landasan penting dalam penetapan hukum Islam.

Pertama, “al-‘illah al-fā’ilah” atau kausa efisien, merupakan penyebab yang mendasari ditetapkannya suatu ketentuan hukum. ‘Illat ini berada di depan penetapan hukum itu sendiri. Sebagai contoh, dalam institusi pernikahan, ijab qabul menjadi ‘illat sahnya suami istri berhubungan badan. Begitu juga, dalam konteks tindak pidana korupsi, ‘illat dari jatuhnya hukum potong tangan adalah tindakan korupsi itu sendiri.

Kedua, “al-‘illah al-ghā’iyyah” atau kausa final, adalah tujuan yang hendak diwujudkan melalui suatu penetapan hukum. Menurut Syamsul, ‘illat ini terwujud setelah penetapan hukum. Sebagai contoh, pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang sahnya sebuah perceraian yang harus ditentukan di pengadilan bertujuan untuk menekan tingkat perceraian dan mencegah talak yang sewenang-wenang. Menurut Syamsul, ‘illat ini biasanya disebut sebagai Maqāshid al-Syarī’ah, yaitu tujuan-tujuan utama dari syariat Islam.

Kalau kita melihat argumen Majelis Tarjih dan Imam al-Ghazali tentang musik seperti yang sudah disampaikan di atas, yang menyatakan bahwa musik dapat dihukumi sebagai haram, makruh, mubah, atau dianjurkan, maka dapat dikategorikan bahwa pandangan ini termasuk dalam kategori al-‘illah al-ghā’iyyah. Dengan pembacaan kausa final ini, kita menghukumi segala sesuatu tergantung pada tujuan akhirnya.

Pentingnya Fleksibilitas Hukum

Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya Majelis Tarjih bermaksud memberikan pelajaran penting bahwa penetapan hukum tidak boleh dilihat secara monolitik. Bagi Majelis Tarjih, suatu perbuatan jangan hanya dihukumi sebagai haram atau halal tanpa mempertimbangkan konteks dan tujuan akhir dari hukum tersebut. Dalam hal ini, kausa final atau al-‘illah al-ghā’iyyah seharusnya menjadi landasan utama dalam menetapkan hukum.

Dengan pendekatan ini, kita diarahkan untuk melihat segala objek hukum secara menyeluruh, adil, dan proporsional. Tidak selalu suatu perbuatan dipandang sebagai halal atau haram secara mutlak, tetapi tergantung pada dampaknya dan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, kesimpulan hukum dilihat secara kondisional. Jika musik membawa seseorang kepada kesesatan atau perbuatan maksiat, maka hukumnya adalah haram. Namun, jika musik tersebut membawa seorang Muslim kepada kemashlahatan, maka hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan.

Pendekatan ini juga mengajarkan pentingnya kontekstualitas dan keadilan dalam menetapkan hukum Islam, serta menegaskan bahwa hukum-hukum tersebut tidaklah statis, tetapi dapat beradaptasi dengan perubahan zaman dan kondisi sosial.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan Majelis Tarjih lainnya terhadap aktivitas menggambar, melukis, dan membuat patung. Meskipun sebagian kelompok Islam mungkin mengharamkan praktik ini, Majelis Tarjih mengadopsi metode pembacaan teks yang menyeluruh (istiqrā), yang memungkinkan penilaian yang lebih proporsional dan kontekstual terhadap aktivitas-aktivitas tersebut.

Dengan menggunakan pendekatan ini, aktivitas menggambar, melukis, dan membuat patung tidak dilihat secara monolitik, tetapi dinilai berdasarkan tujuan akhir atau al-‘illah al-ghā’iyyahnya. Dalam hal ini, aktivitas tersebut dapat dihukumi sebagai haram jika dianggap sebagai bentuk penyembahan atau penghormatan yang tidak pantas, seperti dalam praktik berhala. Namun, aktivitas tersebut dapat menjadi mubah jika digunakan sebagai media pembelajaran, penghiasan, atau bentuk ekspresi kreatif yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk menghukumi segala sesuatu secara kondisional-kontekstual, bukan secara parsial-tekstual.

Oleh karena itu, dalam menentukan hukum yang bersifat konkret dan praktis, agar tidak bersifat monolitik, diperlukan penggunaan kerangka kausa final atau maqāshid al-syarī’ah atau al-‘illah al-ghā’iyyah. Dengan menggunakan al-‘illah al-ghā’iyyah seperti yang dilakukan Imam al-Ghazali dan Majelis Tarjih, pembacaan terhadap teks al-Qur’an dan Hadis yang semula cenderung menekankan pada sisi parsialitas (juz’iyyah) dan monolitik, dapat diperluas cakupan pemahamannya menjadi lebih umum (‘ammah) dan universal (‘ālamiyyah).

Dengan pendekatan ini pula, Islam tidak lagi dipandang sebagai agama yang kaku, rigid, dan eksklusif. Sebaliknya, Islam menjadi ummatan wasatha (ummat yang moderat) dan rahmatan li al-‘ālamīn (rahmat bagi seluruh alam). Dengan memperluas cakupan pemahaman terhadap tujuan akhir dari hukum-hukum Islam, umat Muslim dapat menghadapi tantangan-tantangan zaman dengan lebih bijaksana dan inklusif.

Referensi:

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama jilid V, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama jilid II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004.

qunut dan masjid

Mengikuti Imam Yang Kunut dan Sujud Sahwi Karena Lupa Tidak Kunut

Pertanyaan:

Sebagai makmum wajib mengikuti imam:

  1. Jika saya bermakmum pada imam subuh yang kunut, apakah saya wajib ikut mengaminkan dengan baca kunut, serta mengangkat tangan sebagaimana imam atau berdiri diam saja (iktidal) dan ini yang saya lakukan?
  2. Suatu ketika imam lupa kunut subuh di akhir rakaat kedua, bagaimana seharusnya yang saya lakukan? Apakah saya ikut sujud sahwi, tetapi setahu saya sujud sahwi dilakukan apabila kekurangan rukun shalat, sedangkan kunut bukan rukun shalat? Jadi yang dilakukan imam “keliru”, sehingga saya tidak harus mengikutinya, tapi jika tidak ikut sujud sahwi berarti saya tidak  ikut imam sehingga jamaah saya batal.

Kaharuddin Yunus (disidangkan pada Jum’at, 28 Dzulhijjah 1437 H / 30 September 2016 M)

Jawaban:

Terima kasih sebelumnya atas pertanyaan yang saudara ajukan. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dikutip keterangan dari Himpunan Putusan Tarjih halaman 378 yang mendefenisikan kunut memiliki makna asli “tunduk kepada Allah dengan penuh kebaktian”. Muktamar dalam keputusannya menggunakan makna kunut yang berarti “berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur’an dan membaca do’a sekehendaknya”.

Hal ini berdasarkan hadis dari Jabir r.a. bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُوْلُ الْقُنُوْتِ... إلخ [رواه مسلم].

“Shalat yang paling utama adalah berdiri lama (untuk membaca doa) ... sampai akhir” [HR. Muslim].

Pada perkembangan sejarah fikih di masa lampau, orang telah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan kunut, yakni: “berdiri sementara” pada shalat subuh sesudah rukuk pada rakaat kedua dengan membaca doa: Allahummahdini fiman hadait ... dan seterusnya.

Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 halaman 77 yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih disebutkan “Kunut diartikan dengan arti khusus yakni berdiri lama ketika iktidal dan membaca doa: Allahummahdiniy fiman hadait ... dan seterusnya di waktu shalat subuh, hukumnya dipersilisihkan ulama. Adapun Lajnah Tarjih memilih untuk tidak melakukannya, karena dalilnya tidak kuat termasuk kunut dalam shalat witir. Adapun yang ada tuntunannya ialah kunut nazilah, yakni dilakukan setiap shalat selama satu bulan di kala kaum muslimin menderita kesusahan”.

Selain itu terdapat riwayat dari Ibn Umar r.a., ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى رِجَالٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ يُسَمِّيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ} لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ {فَتَرَكَ ذَلِكَ [رواه أحمد].
“Rasulullah saw. mendoakan (kebinasaan) atas orang musyrik dengan menyebut nama mereka sehingga Allah menurutkan ayat: ‘Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, Allah menerima taubat atau mengazab mereka, karena mereka itu orang-orang yang zalim'. Lalu perbuatan tersebut ditinggalkan” [HR. Ahmad].
Dalam peristiwa yang saudara alami, yaitu shalat subuh berjamaah bersama imam yang membaca kunut, apakah sebagai makmum wajib mengaminkan dan membaca kunut serta mengangkat tangan sebagaimana yang imam lakukan atau sebaliknya hanya berdiri diam saja seperti posisi iktidal.

Pada prinsipnya seorang makmum harus mengikuti imam dalam gerakan shalat, sebagaimana riwayat dari Anas Ibn Malik bahwa Rasulullah saw. berdabda:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ, فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا , وَ إِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا , وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا , وَإِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوْا قِيَامًا [رواه مسلم].

“Sesungguhnya dijadikannya imam itu untuk diikuti. Jika ia bertakbir maka bertakbirlah kalian, jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia sujud maka sujudlah kalian dan jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri” [HR. Muslim].

Berdasarkan hadis di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa makmum harus mengikuti imam dalam semua gerakan shalat dan makmum diharamkan mendahului gerakan imam. Gerakan imam yang diikuti terbatas hanya pada gerakan rukun-rukun shalat saja, bukan semua gerakan imam. Gerakan imam di luar rukun shalat, seperti menggaruk karena gatal, batuk atau bersin, karena gerakan (aktivitas) imam yang demikian tidak termasuk dalam rukun shalat, maka tidak diikuti oleh makmum.

Sejalan dengan itu, dalam peristiwa yang saudara alami makmum tidak wajib mengikuti imam dalam hal yang tidak diyakininya sebagai rukun shalat, yaitu mengamini maupun membaca doa kunut, karena dalam ibadah harus ada tuntunan yang jelas sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ.

“Hukum asal dalam ibadah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”.

Ketika seorang makmum meyakini kunut tidak termasuk dalam rukun shalat karena dalilnya lemah, maka ia tidak perlu membacanya maupun mengangkat tangan meskipun imam membaca kunut dan mengangkat tangan. Makmum tersebut cukup mendengarkan dan tetap berdiri pada posisi iktidal sebagaimana yang saudara lakukan.

Adapun jika imam melakukan sujud sahwi karena lupa tidak kunut, maka seperti halnya dalam kunut, makmum juga tidak perlu mengikuti imam melakukan sujud sahwi karena lupa kunut, sebab tidak meyakini adanya kunut dalam shalat subuh. Sujud sahwi hanya dilakukan ketika ragu atau merasa keliru akan jumlah rakaat atau ada rukun shalat yang terlupa/tertinggal. Berkenaan dengan hal itu, ketika imam sujud sahwi karena lupa kunut, makmum tersebut cukup dengan duduk dan menunggu imam selesai sujud sahwi sampai imam selesai membaca salam.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 3 Tahun 2018

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Menyalurkan zakat fitri dalam bentuk makanan pokok berupa beras, panitia/amil sering mengalami kesulitan, terutama disebabkan masalah transportasi dan terbatasnya waktu. Pertanyaannya, bolehkah beras yang diterima oleh amil/panitia dijual, sehingga mustahiq menerima zakat dalam bentuk uang?

Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

H. Parluji (Parluji Panji) di Jambi (Disidangkan pada Jumat, 6 Muharam 1441 H / 6 September 2019 M)

Jawaban: 

Terima kasih kami ucapkan kepada bapak H. Parluji di Jambi atas pertanyaan yang diajukan. Semoga jawaban ini dapat menjadi penerang terhadap persoalan serupa dalam masyarakat.

Sebenarnya keterbatasan waktu tidak dapat menjadi alasan untuk hal ini, karena zakat fitri sudah bisa dibayarkan jauh sebelum hari raya. Jumhur ulama berpendapat bahwa waktu wajib membayar zakat fitri yaitu ditandai dengan terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadan sampai menjelang shalat Idulfitri, sedangkan pembayaran melalui amil (lembaga pengumpul zakat) dapat dilakukan sejak awal Ramadan. Adapun pembagiannya kepada fakir miskin sebaiknya dilakukan menjelang hari raya, karena salah satu tujuan zakat fitri adalah memberi makan orang miskin pada hari raya. Hal ini sesuai dengan hadis,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى، وَالصَّغِيْرِ وَاْلكَبِيْرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إلَى الصَّلَاةِ [رواه البخاري: 1503].

Dari Ibn ‘Umar ra (diriwayatkan) dia berkata, Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitri sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak maupun orang tua dari kalangan umat Islam. Beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum orang-orang pergi shalat ‘Id [HR. al-Bukhâri: 1503].

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ [رواه أبو داود: 1609].

Dari Ibnu Abbas ra. (diriwayatkan) dia berkata, Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitri untuk menyucikan diri bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan busuk serta untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat ‘Id, itulah zakat yang diterima dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat ‘Id, maka itu sekedar sedekah [HR. Abu Dawud: 1069].

Perlu diketahui, tidak semua pengelola zakat dapat disebut sebagai amil. Menurut an-Nawawi, adakalanya zakat dikelola oleh amil, atau oleh muzaki sendiri, atau oleh panitia (wakil) muzaki. Adapun menurut asy-Syaukani, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Qadir jilid 2 halaman 425, amil yang terdapat dalam surah at-Taubah ayat 60 adalah

وَالْعامِلِينَ عَلَيْها أَيِ السُّعَاةِ وَالْجُبَاةِ الَّذِينَ يَبْعَثُهُمُ الْإِمَامُ لِتَحْصِيلِ الزَّكَاةِ.

maksud dari al-‘Âmilîna ‘alaihâ ialah, petugas-petugas dan pengumpul-pengumpul zakat yang diutus oleh imam (pemerintah) untuk menarik zakat.

Dalam konteks Indonesia, pada Undang-undang (UU) No. 23 Tahun 2011 Pasal 5 tentang pembentukan Badan Amil Zakat Nasional, disebutkan bahwa pemerintah membentuk BAZNAS untuk melaksanakan pengelolaan zakat. Di samping itu ada pula amil zakat yang diakui oleh Pemerintah, antara lain adalah Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah atau disingkat Lazismu.

Jadi, amil adalah lembaga pengelola zakat yang diangkat atau diakui oleh Pemerintah. Oleh karenanya, pengelola zakat yang berada di masjid-masjid bukanlah amil, tetapi merupakan wakil muzaki yang membantu pengumpulan dan pendistribusian zakat, kecuali pengelola yang telah menjadi bagian dari lembaga zakat resmi atau diakui Pemerintah, misal Unit Pengumpul Zakat (UPZ) BAZNAS atau Kantor Layanan (KL) Lazismu. Amil memiliki wewenang penuh terhadap pengelolaan dan pendayagunaan zakat, oleh karena itu amil memiliki hak penuh terhadap zakat yang diberikan muzakki kepadanya sesuai PP No. 14 Tahun 2014 Pasal 3 mengenai tugas dan fungsi BAZNAS.

Selanjutnya, mengenai penjualan beras zakat yang kemudian uang hasil penjualannya disalurkan kepada mustahik, menurut hemat kami bukan menjadi wewenang dari pengelola atau panitia penghimpun zakat yang ada di masjid-masjid. Hal ini karena pengelola hanya sebagai wakil mustahik untuk menerima zakat dari muzaki, sehingga tidak mempunyai hak apa pun atas beras zakat yang diwakilkan penerimaannya kepadanya. Pengelola juga sekaligus wakil muzaki untuk menyalurkan zakat bagi mustahik yang tinggal di sekitar masjid atau dalam lingkup terbatas (RT/RW/desa), sehingga zakat belum sah jika belum sampai pada mustahik.

Kalau pun hendak disalurkan kepada mustahik di daerah lain, hendaknya waktu penyalurannya tidak terlalu dekat dengan hari raya atau daerahnya tidak terlalu jauh, sehingga tidak menimbulkan kesempitan dan kesulitan bagi pengelola zakat tersebut. Bahkan, jual beli beras zakat yang dilakukan oleh pengelola tersebut bisa saja menjadi tidak sah, karena beras zakat tersebut bukan hak milik pengelola, melainkan hak milik muzaki yang kemudian akan berpindah tangan menjadi hak mustahik. Lain halnya apabila penjualan beras zakat tersebut memang menjadi kehendak mustahik yang diamanatkan kepada pengelola.

Sebagai kesimpulan, menurut kami, pengelola atau panitia zakat di masjid tidak berhak menjual beras zakat yang telah diterima dari muzaki. Oleh karena itu, pengelola harus menyalurkan beras zakat tersebut kepada mustahik tanpa ditukar dengan uang. Jarak dan waktu bisa diantisipasi dengan membuat perencanaan yang lebih matang agar penyaluran beras zakat tersebut tidak membuat kesulitan atau kesempitan bagi pengelola.

Demikian jawaban dari pertanyaan di atas, semoga dapat memberi pencerahan atas persoalan yang bapak ajukan.

Wallahu a‘lam bish-shawwab.

Sumber: Majalah SM Edisi 17/ 2020 dengan judul Amil/Panitia Menukar Beras yang Dibayarkan Muzakki dengan Uang

Artikel ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul: Amil Zakat Menukar Beras dengan Uang, https://www.suaramuhammadiyah.id/read/amil-zakat-menukar-beras-dengan-uang

OFFICE

Gedung Da'wah Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Lampung

JL. Kapten Piere Tendean No. 7 Palapa Durian Payung, Bandar Lampung 35116 Telphone/Fax: 0721-242117

Today
Yesterday
This Week
Last Week
This Month
Last Month
All days
153
728
2806
172759
881
46345
179294
Your IP: 18.188.13.212
02-05-2025
© Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Lampung Powered By Rubelmu.id

Rubid.id by Rubid.id