Polemik seputar hukum musik masih menjadi sorotan hangat dalam diskusi umat Islam hari-hari ini. Perspektif yang beragam mengenai legalitas musik terus memunculkan pertentangan. Di satu sisi, ada yang memandang bahwa musik secara mutlak haram; sementara di sisi lainnya, ada yang meyakini bahwa musik tidak memiliki batasan hukum yang tegas.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sendiri telah mengeluarkan fatwa mengenai hukum musik. Dalam menanggapi keberagaman pendapat tentang musik, berdasakan buku Tanya Jawab Agama jilid V (2013) Majelis Tarjih membuat tiga klasifikasi:
Pertama, jika musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan. Kedua, jika musik hanya bersifat sebagai hiburan atau permainan semata tanpa dampak yang signifikan, hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, perlu diingat bahwa jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram. Ketiga, jika musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemaksiatan, maka hukumnya jelas haram.
Pandangan Majelis Tarjih ini sejalan dengan Imam Al Ghazali. Menurutnya, musik dianggap haram apabila membangkitkan atribut yang tercela dalam diri manusia. Namun, Imam Al Ghazali juga memberikan perspektif yang lebih nuansa terkait hukum ini. Baginya, musik hanya menjadi makruh apabila seseorang terlalu terbuai olehnya, sehingga melupakan kewajiban-kewajiban yang lain.
Lebih lanjut, jika musik hanya dinikmati sebagai bentuk kesenangan tanpa adanya efek negatif yang signifikan, maka statusnya menjadi mubah atau diperbolehkan. Imam Al Ghazali juga menyatakan bahwa musik dapat dianjurkan apabila mampu meningkatkan rasa cinta kepada Allah dan membangkitkan atribut yang terpuji dalam diri manusia.
Membedah Metodologi Hukum
Dari penjelasan yang telah disampaikan, terbuka ruang untuk membongkar metode istinbath hukum yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan juga Imam Al Ghazali. Untuk melengkapi pemahaman akan hal ini, kita akan menggunakan kerangka teoritik yang dikemukakan oleh pakar hukum Islam sekaligus Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar.
Dalam buku yang berjudul Fikih Kebhinekaan, Syamsul Anwar menguraikan tentang tipologi ‘illat, atau yang dikenal dalam hukum Islam sebagai metode kausasi dan ratio legis. Dua macam kausa ini menjadi landasan penting dalam penetapan hukum Islam.
Pertama, “al-‘illah al-fā’ilah” atau kausa efisien, merupakan penyebab yang mendasari ditetapkannya suatu ketentuan hukum. ‘Illat ini berada di depan penetapan hukum itu sendiri. Sebagai contoh, dalam institusi pernikahan, ijab qabul menjadi ‘illat sahnya suami istri berhubungan badan. Begitu juga, dalam konteks tindak pidana korupsi, ‘illat dari jatuhnya hukum potong tangan adalah tindakan korupsi itu sendiri.
Kedua, “al-‘illah al-ghā’iyyah” atau kausa final, adalah tujuan yang hendak diwujudkan melalui suatu penetapan hukum. Menurut Syamsul, ‘illat ini terwujud setelah penetapan hukum. Sebagai contoh, pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang sahnya sebuah perceraian yang harus ditentukan di pengadilan bertujuan untuk menekan tingkat perceraian dan mencegah talak yang sewenang-wenang. Menurut Syamsul, ‘illat ini biasanya disebut sebagai Maqāshid al-Syarī’ah, yaitu tujuan-tujuan utama dari syariat Islam.
Kalau kita melihat argumen Majelis Tarjih dan Imam al-Ghazali tentang musik seperti yang sudah disampaikan di atas, yang menyatakan bahwa musik dapat dihukumi sebagai haram, makruh, mubah, atau dianjurkan, maka dapat dikategorikan bahwa pandangan ini termasuk dalam kategori al-‘illah al-ghā’iyyah. Dengan pembacaan kausa final ini, kita menghukumi segala sesuatu tergantung pada tujuan akhirnya.
Pentingnya Fleksibilitas Hukum
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya Majelis Tarjih bermaksud memberikan pelajaran penting bahwa penetapan hukum tidak boleh dilihat secara monolitik. Bagi Majelis Tarjih, suatu perbuatan jangan hanya dihukumi sebagai haram atau halal tanpa mempertimbangkan konteks dan tujuan akhir dari hukum tersebut. Dalam hal ini, kausa final atau al-‘illah al-ghā’iyyah seharusnya menjadi landasan utama dalam menetapkan hukum.
Dengan pendekatan ini, kita diarahkan untuk melihat segala objek hukum secara menyeluruh, adil, dan proporsional. Tidak selalu suatu perbuatan dipandang sebagai halal atau haram secara mutlak, tetapi tergantung pada dampaknya dan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, kesimpulan hukum dilihat secara kondisional. Jika musik membawa seseorang kepada kesesatan atau perbuatan maksiat, maka hukumnya adalah haram. Namun, jika musik tersebut membawa seorang Muslim kepada kemashlahatan, maka hukumnya adalah mubah atau diperbolehkan.
Pendekatan ini juga mengajarkan pentingnya kontekstualitas dan keadilan dalam menetapkan hukum Islam, serta menegaskan bahwa hukum-hukum tersebut tidaklah statis, tetapi dapat beradaptasi dengan perubahan zaman dan kondisi sosial.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan Majelis Tarjih lainnya terhadap aktivitas menggambar, melukis, dan membuat patung. Meskipun sebagian kelompok Islam mungkin mengharamkan praktik ini, Majelis Tarjih mengadopsi metode pembacaan teks yang menyeluruh (istiqrā), yang memungkinkan penilaian yang lebih proporsional dan kontekstual terhadap aktivitas-aktivitas tersebut.
Dengan menggunakan pendekatan ini, aktivitas menggambar, melukis, dan membuat patung tidak dilihat secara monolitik, tetapi dinilai berdasarkan tujuan akhir atau al-‘illah al-ghā’iyyahnya. Dalam hal ini, aktivitas tersebut dapat dihukumi sebagai haram jika dianggap sebagai bentuk penyembahan atau penghormatan yang tidak pantas, seperti dalam praktik berhala. Namun, aktivitas tersebut dapat menjadi mubah jika digunakan sebagai media pembelajaran, penghiasan, atau bentuk ekspresi kreatif yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk menghukumi segala sesuatu secara kondisional-kontekstual, bukan secara parsial-tekstual.
Oleh karena itu, dalam menentukan hukum yang bersifat konkret dan praktis, agar tidak bersifat monolitik, diperlukan penggunaan kerangka kausa final atau maqāshid al-syarī’ah atau al-‘illah al-ghā’iyyah. Dengan menggunakan al-‘illah al-ghā’iyyah seperti yang dilakukan Imam al-Ghazali dan Majelis Tarjih, pembacaan terhadap teks al-Qur’an dan Hadis yang semula cenderung menekankan pada sisi parsialitas (juz’iyyah) dan monolitik, dapat diperluas cakupan pemahamannya menjadi lebih umum (‘ammah) dan universal (‘ālamiyyah).
Dengan pendekatan ini pula, Islam tidak lagi dipandang sebagai agama yang kaku, rigid, dan eksklusif. Sebaliknya, Islam menjadi ummatan wasatha (ummat yang moderat) dan rahmatan li al-‘ālamīn (rahmat bagi seluruh alam). Dengan memperluas cakupan pemahaman terhadap tujuan akhir dari hukum-hukum Islam, umat Muslim dapat menghadapi tantangan-tantangan zaman dengan lebih bijaksana dan inklusif.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama jilid V, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama jilid II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004.